SIMBAH - CERPEN ANAK JALANAN


Hujan sudah reda. Tole, bocah yang senang bertelanjang dada, mengucap syukur. Ia tidak harus berlama-lama kedinginan di tengah keramaian. Perlahan Tole berdiri dan berjalan ke hadapan Simbah, wanita tua yang dari tadi duduk di sampingnya. Tangan Tole yang mungil meraih ujung kain batik, yang terselip di tangan Simbah. Kain itu adalah kain bekas gendongan keranjang pecel, yang mereka jajakan di depan Stasiun Manggarai. Perlahan, tangan Tole membasuh wajah neneknya itu. Meski kumal, Simbah tidak merasa sungkan. Ia malah terlihat menikmati usapan lembut tangan Tole. 

"Terima kasih ya, Le!” ujar Simbah sambil tersenyum. 

Melihat wajah Simbah, rasa kangen membuncah dari balik dada Tole. Bayangan wajah Emak berkelebat. Wajah Simbah, memang menyerupai wajah Emak, yang kini pergi ke luar negeri untuk bekerja. Sudah hampir setahun ini, Tole dititipkan Emak pada wanita bersahaja itu. 

Sambil mengangguk, Tole membalas senyum Simbah. Hatinya puas, karena bisa mengungkapkan rasa sayangnya pada Simbah.

"Kamu ngak kedinginan, Le?” tanya Simbah, sambil membasuh tubuh Tole yang basah dengan kain tadi.

"Ngak, Mbah. Enak seperti ini, bisa main hujan-hujanan, he he...” 

Meski suasana basah sisa hujan sore itu, Stasiun Manggarai masih terlihat ramai. Simbah  merapikan dan memasukkan bekas dagangan dalam keranjangnya. Tampah bekas menata sayuran, Simbah jadikan payung, untuk berlindung dari gerimis yang masih saja turun. Sambil bergegas, Simbah  mengajak Tole untuk pergi meninggalkan tempat itu.

"Kita pulang, Mbah?” tanya Tole.

"Ya... Sudah cukup jualannya. Kita pulang saja,” jawab Simbah. Sebentar kemudian, Simbah sudah berdiri, kemudian mengikat kain gendongan pada keranjang yang ada di balik punggungnya. 

Tole mengangguk. Sambil membawa ember kecil yang berisi sisa bumbu pecel, Tole segera mengikuti langkah-langkah Simbah dari belakang. Kaki-kakinya riang berkejaran, seolah tidak perduli pada jalan licin yang ia lewati. Wajah Tole dan Simbah tampak riang. Seperti tidak ada rona kesulitan, yang tergambar dari wajah mereka.

”Mbah... Emak Tole, kapan pulang?” tanya Tole, sambil merlari ke depan Simbah yang tampak terseok-seok langkahnya. Tatapannya penuh pengharapan.

”Sudah, Tole ngak usah pikirkan Emak dulu, ya. Yang penting..., Tole sekarang sekolah yang rajin dan doakan supaya Emak cepat pulang!” nasihat Simbah sambil menatap sendu pada  Tole. Dalam hati Simbah ikut ’gerimis’, mendengar pertanyaan Tole tadi. Setahun meninggalkan mereka, Sutini, ibu Tole, tidak pernah memberi kabarnya kepadanya. Agen TKI yang memberangkatkan Sutini juga sudah bubar, karena ijinnya dicabut Pemerintah. Simbah hanya bisa pasrah dan menunggu Sutini kembali. 

”Besok, sandal Simbah diganti, ya!?” seru Tole tiba-tiba. ”Kasihan, jalannya Simbah jadi susah!”

Sambil teresenyum, Simbah segera menjawab, ”Besok, kita sama-sama beli sandal baru, ya!”

Tole membalasnya dengan tertawa riang.

Memasuki jejeran rumah kumuh tempat mereka tinggal, jalanan kampung terasa becek. Jari-jari kaki Simbah tampak kewalahan, menuruti tuntutan sandal jempit usang yang dipakainya. Tali penyangga sendal itu sering putus. Simbah sudah berusaha mengikatnya kembali dengan kawat. Sandal itu memang sudah seharusnya diganti. Namun Simbah tetap bertahan hingga sandal itu benar-benar tidak dapat ia perbaiki lagi.

“Ayo cepat sedikit, Le! Simbah belum sempat menumbuk kacang, buat bumbu pecel esok hari,” ujar Simbah sedikit tergesa-gesa.

“Kenapa sih, kita jualannya jadi sore hari? Kan lebih enak pagi hari, Mbah?” tanya Tole polos.

“Ini bulan puasa, Le! Mana ada tukang becak atau tukang ojek yang mau membeli pecel kita pagi hari?”

“Oh... begitu?” jawab Tole sambil berpikir. ”Tapi katanya, mereka juga banyak yang nggak puasa lho, Mbah?”

“Husss!” lanjut Simbah cepat, sambil menyilangkan telunjuk di depan mulutnya. ”Tetap saja ndak boleh. Allah melarang kita melayani pembeli yang sengaja tidak puasa!” jelas Simbah.

Tole mengganguk. Ia belum paham benar penjelasan Simbah. Tapi baginya, penjelasan ’Allah melarang kita’ itu, sudah cukup. Ia sering mendengar kata-kata itu, bila Simbah melarangnya berbuat kesalahan.

Tidak lama kemudian, mereka sudah sampai di depan rumah kontrakan. Rumah petak itu berada  di ujung gang. Atapnya dari seng dan dindingnya berwarna suram, karena sudah lama tidak dicat.  Rumah itu seperti sembunyi diantara rumah-rumah kumuh lainnya. Kondisinya serba tidak teratur, sebab dibangun tanpa sebuah perencaan.

Didepan rumah kontrakkan mereka, nampak sebuah percetakan yang tidak kalah kotornya. Sampah-sampah kertas bekasnya meninggi. Belum lagi buangan limbah kimia yang dibuang ke selokan sekitar. Warna airnya jadi hitam pekat dan menimbulkan bau busuk. Karenanya, tidak heran, jika banyak warga yang kena penyakit kulit dan ’bengek’. Konon, anak pemilik percetakan itu sendiri meninggal karena paru-parunya berlubang hampir dua sentimeter. Namun demikian, kawasan padat penduduk itu, tetap saja banyak dihuni orang miskin. Semuanya karena alasan himpitan hidup, yang kian mendera.

"Mbahhh! Toleee!” seru Imam, yang berlari tergopoh-gopoh dari kejauhan. Tole dan Simbah menoleh. Tak lama kemudian, Imam datang mendekat. Dengan nafas tersengal-sengal, Imam segera meraih tangan Simbah dan menciumnya. ”Huff... huff... Mbah, maafin Imam. Imam salah lagi...”

"Masya Allah... mesakne tenan  kamu, Mam!” seru Simbah sambil mengelus kepala Imam yang basah. Imam, harusnya sudah duduk di kelas dua sekolah menengah. Namun, ia memutuskan untuk jadi pengamen jalanan. Rumah Imam letaknya tidak jauh dari kontrakan Simbah. Ibu Imam baru saja meninggal saat melahirkan adiknya yang ketujuh. Sayangnya bersamaan dengan itu, ayah Imam masuk penjara karena terlibat penjualan narkoba. ”Yo, wes... Kita masuk ke dalam dulu! Mandi, sholat terus buka puasa sama-sama, ya!”

Imam menggeleng. 

"Mbah, aku cuma mau bilang. Kalau nanti ada yang cari aku, bilang saja Simbah ngak tau, ya!” bisik Imam, dengan mata yang sayu. Ia terlihat letih sekali.

"Lho kenapa, Mam? Kamu...” tanya Simbah, sedikit cemas. Bagaimana pun, Simbah memang selalu sayang dengan anak-anak jalanan di sekitar rumahnya. Banyak diantara mereka menjadikan rumah Simbah menjadi rumah singgah. Mereka datang hanya untuk menumpang tidur dan sarapan saja. Namun demikian, Simbah tidak pernah keberatan.

"Pokoknya kalau ada yang tanya sama Simbah atau Tole, tentang Imam. Bilang saja ngak kenal, ya!” ujar Imam tampak sambil membalikkan badan. Ia tampak terburu-buru. Kedatangan Imam ke rumah Simbah, hanya ingin meyakinkan, agar Simbah dan Tole tidak terbawa-bawa kasus yang membelitnya saat ini.  ”Nanti kalau sudah aman, Imam balik, Mbah!”

"Mam! Kamu...,”

Belum sempat Simbah menyelesaika pertanyaannya, Imam sudah berlari menembus hujan, yang kembali turun dengan derasnya. Langkah-langkah kakinya tampak terhuyung-huyung. Bahkan Imam sempat jatuh, kemudian berdiri dan berlari kembali. 

"Ya Allah, Mam..., hati-hati, Nak!’ teriak Simbah, dengan pikiran yang mulai kalut. Sama seperti kehadiran Tole dalam kehidupannya, Simbah sudah menganggap Imam seperti anaknya sendiri. Di rumah kontrakan reyot ini pula, ada tujuh anak jalanan lain sering singgah di rumah Simbah. Mereka sering datang dini hari. Bila subuh, Simbah membangunkan mereka dan menyempatkan memberi petuah buat anak-anak jalanan itu. Sebelum anak-anak jalanan itu pergi lagi, Simbah selalu menyempatkan diri, membuat sarapan ’seadanya’ untuk mereka semua.

"Mas Imam mau ditangkap polisi lagi ya, Mbah?” tanya Tole dengan polos. Simbah tidak menjawab. Bibirnya terlihat kelu. Seperti biasa, Simbah merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Anak jalanan, polisi dan jaringan narkoba ditempatnya tinggal, bagai tiga peran yang sudah lekat dalam kehidupan Simbah.
Saat sosok Imam benar-benar hilang di balik hujan, air mata Simbah tampak jatuh tak terbendung lagi. 

"Ya sudah... Kita masuk saja ya, Le!” ajak Simbah, mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi. Simbah membalikkan badan, kemudian membuka pintu yang terkunci. Besamaan dengan itu, kaki Simbah membentur sebuah kaleng kecil yang tergeletak di lantai. Kaleng itu terpental dan berputar-putra di depan Tole. Dengan cepat Tole meraih kaleng kecil tersebut dan memperhatikannya.

"Mas Imam sedang Fly, Mbah...” bisik Tole, penuh hati-hati.

"Fly? Apa itu, Le?”

"Ini lho, Mbah! Ini lem kayu. Anak-anak jalanan di sini, kalau tidak punya uang, mereka suka menghirup lem kayu ini, sampai mabuk. Kemarin Mas Imam ngajak aku untuk ’ngelem’ juga, Mbah! Tapi aku ngak mau...” jelas Tole.

"Lem itu?  Untuk apa?” tanya Simbah dengan nada cemas.

"Ya dihirup-hirup begini, Mbah!” jelas Tole sambil memperagakan cara anak jalanan, mabuk. Tole menarik kerah bajunya ke atas. Sedangkan tangan lainnya memasukkan lem kayu itu di balik bajunya. Setelah membuka tutup lem kayu tersebut, hidung Tole mulai mengendus sesuatu benda yang ia himpit di dekat ketiaknya tersebut. ”Nah, dengan menghirup-hirup seperti ini, anak-anak itu jadi bisa mabuk, Mbah.”

"Ya Allah... Kok kamu saja sudah ngerti, Le!?” keluh Simbah dengan perasaan yang hancur. Rasanya pendidikan agama tiap subuh yang ia ajarkan pada anak-anak jalanan, belum bisa merubah mereka untuk berbuat baik, dalam menghadapi kejamnya kehidapan di kota metropolitan saat ini. ”Kamu ngak boleh ikut-ikutan, ya, Le! Lem kimia itu, bila dihirup bisa merusak otakmu ...”

Tole mengangguk. Ia segera mendekap pinggang Simbah untuk meyakinkan kalau dirinya sudah mengerti apa yang Simbah inginkan.

"Tole janji ngak seperti itu, Mbah!” lanjut Tole.

"Ya sudah. Kita buka puasa di dalam, ya!” ajak Simbah, sambil membuka kunci pintu yang terlihat sudah reyot tersebut. 


***


Senja mulai bergulir, saat Tole selesai mandi dan menunggu azan magrib berkumandang. Di atas sehelai tikar, Simbah telah menyiapkan hidangan untuk berbuka. Tidak ada yang istimewa. Hanya pisang goreng buatan Simbah dan teh tawar hangat.

“Kamu tidak ingat, ya? Hari ini kamu kan berulang tahun, Le?” ujar Simbah, sambil membasuh minyak kayu putih ke dada Tole.”Usiamu sekarang sudah lima tahun, Le!”

"Kalau kita ulang tahun,  biasanya ngapain saja sih, Mbah?” tanya Tole dengan polos. Tole mulai bisa merasakan uap minyak kayu putih yang merambat di hidungnya. 

"Ya bersuyur... terus berdoa sama Allah.” terang Simbah. ”Ini, Simbah belikan hadiah untukmu! Semoga kamu suka, Le...”

"Wahhh...”  mata Tole berbinar melihat sebuah kotak yang dibungkus rapih kertas berwarna coklat.  “Apa ini, Mbah?” serunya kembali, penuh suka cita. Tanpa sabar, tangannya langsung merobek-robek bungkusan kertas itu.

“Horeee… Aku punya peci! Aku punya sarung!” teriak Tole saat mengetahui isi hadiahnya. Ia segera mencoba memakai  peci baru di kepalanya. ”Buat lebaran saja ya, Mbah... Buat lebaran!” seru Tole dengan bangga.

Simbah mengangguk. Hatinya puas melihat suka cita cucunya. Tidak terasa air mata bahagianya menetes. Ia teringat kembali dengan anak-anaknya, yang kini hidup terpisah darinya.

“Mbahhh, aku punya ini!” teriak Tole, membuyarkan lamunan Simbah, saat itu. 
Tiba-tiba saja, Tole muncul di hadapan Simbah, sambil membawa celengan tanah liat berbentuk ayam, miliknya. Celengan itu memang dibelikan Simbah untuk Tole tahun lalu. Setiap hari, sehabis mengantar Simbak berjualan, Tole selalu menyisihkan uang receh yang diberikan Simbah untuknya.

“Iya Le, isi celengan itu, buat kamu sekolah nanti, ya?” jawab Simbah.

“Nggg... Tidak, ah! Ini buat Simbah saja!” seru Tole. Dengan kedua tangannya, ia sudah mengangkat celengan itu, tinggi-tinggi.

Simbah terperangah. Ia mencoba menahan aksi Tole saat itu.

“Jangannn…” seru Simbah. Namun.

PRANGGG!

Terlambat. Celengan itu, kini sudah hancur berkeping-keping. Kepingannya dan uang koinnya sudah menyebar ke mana-mana.

"Untuk apa, sayang?” tanya Simbah, lemas.

"Buat beli baju Simbah. Buat lebaran...” jawab Tole, dengan wajah tidak bersalah. Dengan cepat Tole mulai memungiti uang yang menghampar di lantai. Ia segera mengumpulkannya di atas tikar, di samping tempat Simbah duduk.

Saat Tole masih sibuk dengan uang-uang recehnya. Tiba-tiba tangan Simbah dirasakan mulai menariknya. Simbah langsung memeluk dan mendekap tubuh Tole. Tangis Simbah pecah. 

Rasa bangga, tiba-tiba menyeruak dalam di dada mereka masing-masing.


***


*Tulisan ini menjadi pemenang dalam kontes menulis untuk anak jalanan (2012)

pict pixabay

0 Response to "SIMBAH - CERPEN ANAK JALANAN"

Post a Comment