RAMADHAN : Merencanakan Syurga Bersama Buah Hati Kita




يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَـنْظُرْ نَـفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ  ۚ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ  اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan."
(QS. Al-Hasyr 59: Ayat 18)

Selama di dunia, anak yang lahir menjadi amanah untuk kedua orang tuanya. Tidak semua menyadari akan hal itu. Allah memilih orang-orang tersebut. Maka, kita harus bersyukur, apabila anak-anak dapat terlahir dan tumbuh dari benih kita sendiri. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah Allah rencanakan. Tinggal bagaimana cara kita memandangnya. Apakah hal itu sesuatu yang biasa saja? Kita harus meyakini bahwa anak adalah investasi orang tuanya di akhirat. Ia yang akan menjadikan beratnya timbangan amal kita, di yaumil akhir nanti.


Setiap anak yang lahir di dunia adalah anak-anak yang hebat. Di alam rahim, mereka sudah bersaing dengan penuh perjuangan melawan ribuan kompetitornya. Hanya benih terbaiklah yang menjuarai dan berkembang menjadi zigot, untuk proses pembuahan berikutnya. Hingga akhirya, mereka terlahir di dunia. Jadi apapun kelebihan dan kekurangan anak-anak, mereka adalah karunia. Mereka harus dirawat dengan penuh kasih sayang.


RAMADAHAN SEBAGAI BULAN PEMBINAAN

Allah SWT mempergilirkan waktu dengan adil. Setiap orang mempunyai jatah yang sama dalam mendidik anak-anaknya. Sehari, dua puluh empat jam. Sepekan, sebulan dan setahun. Semua mahluk mempunyai takaran yang sama. Dan dalam tiap tahunnya, kita dipertemukan dengan bulan mulia yang penuh keberkahan, seperti Ramadhan yang kita jalani saat ini.

Adakah catatan kita, berapa banyak si Buyung membaca Al-Qur’an tahun lalu? Tiga kali khatam? Dua kali? Satu, atau hanya setengah kali saja? Lalu bagaimana dengan tahun ini? Di pertengahan Ramadhan 1438 H ini, Allah masih memberikan waktu kepada kita, untuk terus berlomba menjadi yang terbaik. Menjadi yang terbaik, hingga menjadi pemenang seperti saat kita dilahirkan di dunia dulu.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Melainkan mereka yang beramal shalih...”

Sebagai orang tua, harusnya kita sudah ‘selesai’ dengan masalah target-target kita di bulan Ramadhan ini. Kita semua adalah manajer terbaik untuk diri kita sendiri. Sesibuk apapun kita, pecapaian-pencapaian di bulan Ramadhan harus dapat kita kejar. Karena kita tahu, bagaimana cara untuk mensiasatinya. 

Sebagai indikator. Coba bandingkan pencapaian tilawah anda di bulan Ramadhan ini, dengan putra-putri anda. Apakah anda dan anak-anak sudah sesuai dengan target? Akan terasa indah, manakala salah satu diantara kita, sudah jauh melampaui target tahun ini. 

“Alhamdulillah, dipertengahan Ramadhan ini, si kakak sudah satu setengah kali khatam. Si adek, akan segera menghatamkannya besok...”

Amboy, betapa indahnya Ramadhan kali ini, bila kita bisa terus memotivasi satu sama lain. Kita sendiri melakukan hal tersebut, karena didasari iman dan kasih sayang kepada buah hati. Kita ingin mereka tumbuh dan menjadi anak-anak saleh, yang membanggakan dihadapan Allah SWT.



1.       Menjadikan Syurga sebagai tempat pertemuan yang indah untuk kita semua 



Tidak ada target atau pencapaian hidup terindah yang kita rencanakan selain pertemuan kita dengan anak-ana di akhirat kelak. Ramadhan yang penuh dengan keberkahan, marilah kita terus mengulang-ulang target itu kepada anggota keluarga kita. Sebagai kepala keluarga, telah menjadi kewajiban untuk dapat mengupayakannya.

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
(QS. At-Tahrim 66: Ayat 6)

Setiap kalian adalah pemimpin. Setiap ayah adalah pemimpin dalam keluarganya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak.



2.       Kita menjadi tokoh idola baginya



Seorang kawan curhat kepada kami dengan air mata. Bagimana bisa, buah hati semata wayangnya, berubah perangai seketika? Sebungkus rokok dan foto mesra dengan teman lelaki satu kampusnya, menjadi bogem mentah. Semuanya begitu kontadiktif dengan profesi Sang Bunda sebagai Ustazah. Sang Bunda begitu galau, karena sang buah hati tidak lagi dalam kendalinya.

“Kurang apa kami dalam mendidik kamu? Nilaimu terbaik sewaktu masuk perguruan tinggi di Depok. Tofelmu juga tertinggi. Lalu apa yang kamu cari, dengan lelaki itu, Sayang?” selidik Bunda. 

Dengan nada tidak terima, sang buah hati akhirnya mencurahkan kekesalan, yang ia pendam selama ini.

“Bunda. Aku melakukan semua ini karena Bunda. Kalau aku pintar dan berprestasi, itu semua hanya buat kebanggan Bunda, dan teman-teman Bunda. Aku jenuh!” jelas anak, sambil memalingkan pandangan dari wajah Sang Bunda. “Apa Bunda tahu? Aku ini tidak cantik. Kulitku putih pucat. Mukaku berjerawat. Aku tidak menarik bagi teman-temanku. Aku ingin terus mendapat perhatian. Laki-laki itu bintang kampus. Itu usahaku agar aku tetap menjadi orang yang terus dikenal!”  

Hmm, ada yang salah dalam cerita itu? 

Cuplikan cerita diatas, barangkali bisa menjadi sebuah pelajaran. Apakah selama ini, kita membesarkan mereka, hanya untuk kebanggaan kita sendiri? Ternyata, kita bukan teman yang baik. Kita belum mengenal diri mereka sepenuhnya. Kita tidak pernah mempersiapkan perhatian apa yang mereka butuhkan, sesuai dengan tumbuh kembangnya. Dan ternyata, kita bukan tokoh panutan baginya. Duh...

Marilah kita berkaca pada diri kita masing-masing. Apakah kita sudah menjadi orang yang terbaik di mata buah hati kita? Terhadap perhatian dan kasih sayang, kadang kita merasa sudah tahu. Padahal yang kita ketahui tentang mereka hanya seujung ibu jari saja. Kadang kita sudah merasa memberi lebih. Padahal kita belum memberi apa-apa. Barangkali masih ada umpatan-umpatan kita. Atau barangkali, kita termasuk orang tua yang abai dengan doa tulus, yang harusnya kita sampaikan kepada Allah dengan penuh kelembutan.

“Robbana hablana min azwajina, qurrataa’yun wajalna lil mutaqqina imama...”

Ah, saya sudah baca doa itu setiap hari!

Iya Ibu, Bapak. Tapi doa yang anda lakukan hanya sebatas penggugur syarat saja. Doa sambil lalu. Anda tidak benar-benar meminta. Anda belum sungguh-sungguh! 


"Setiap anak punya fase dalam kehidupannya. Dan dalam setiap fase tersebut, kita harus hadir dengan kasih sayang yang penuh."

Apa indikasi jika kita sudah mengisi perhatian dengan penuh? Ternyata mudah dan  akan terlihat dengan kasat mata.

Anak-anak yang tumbuh dengan kasih sayang, ia akan menjadi anak-anak yang percaya diri dan berhasil dalam lingkungannya. Jiwanya selalu bahagia. Matanya berbinar dan semangatnya selalu menggelora. Ia akan sangat bangga dan perhatian terhadap kita sebagai orang tuanya. Jika kita belum pulang kantor, tanpa pemberihtahuan, ia akan gelisah dan mencoba menghubungi ponsel kita. Jika hari libur, ialah orang pertama yang meminta jadwal kita untuk dapat terus bersamanya.

Maka kasihilah buah hati. Usaplah dengan penuh kasih sayang. Jika jelang tidur, jangan lupa selipkan doa terbaik di telinganya. Sampaikan, bahwa kita mencintainya. Bahwa ia adalah anak hebat dan kita kebangga padanya.  



3.       Berorientasi pada proses, bukan hasil

·         Thomas Alfa Edison, saat berusia 7 tahun, dinyatakan sebagai anak bodoh dan tidak mampu untuk sekolah. Namun Ibunya, Nancy Alliot meyakinkan bahwa Thomas adalah anak yang pandai dan luar biasa. Hingga akhirnya meskipun tidak pernah sekolah, ia berhasil menjadi seorang jenius besar dunia. Lebih dari 1.000 penemuan Thomas Alfa Edison yang telah dipatenkan.

·        Lain lagi dengan kisah Jodi. Semasa kecil ia selalu mengganggu dengan lukisan yang ia buat dan ditunjukkan kepada Bundanya tercinta. Sang Bunda tidak pernah marah. “Lukisan tanganmu itu, setara dengan karya Picasso,” seraya meyakinkan. Saat Jodi tumbuh dan sedang dalam keadaan sulit, Sang Bunda selalu meyakinkan ; “Jodi kamu pasti bisa mengatasinya. Tidak ada yang perlu dikawatirkan!”. Dan kalimat itu lah yang selalu terngiang-ngiang ditelinganya, hingga ia dewasa dan berhasil menjadi aktris yang hebat. Kisah itu disampaikan oleh Jodi Foster di podium, saat menerima Piala Oscar. Ia bangga bisa menjadi seorang seniman dunia terkenal, seperti Picasso.

Dua kisah diatas adalah kisah, tentang bagaimana orang tua harus bersikap kepada buah hatinya. Orang tua harus hadir dalam setiap jengkal tumbuh kembang putra-putrinya. Hadir yang bermakna sebenarnya. Bukan orang tua yang hadir sebetar, lalu hilang dalam jangka waktu yang lama.

Allah akan selalu melihat dalam usaha kita untuk mencapai cita-cita. Allah tidak pernah menagih hasil. Karena letak kesuksesan itu, pada hakikatnya adalah ketentuanNya. Kita hanya diperintahkan untuk menjalaninya dengan penah ketakwaan.

Mana hal yang akan anda pilih. Diberikan bunga yang indah pada suatu hari, atau diberikan waktu bersama pasangan anda, untuk ngobrol dan berleha-leha selama seharian?

Jawabannya, tentu anda sendiri yang bisa menentukan. Tapi bagi saya, saya akan memilih pilihan kedua; untuk bermanja dengan pasangan kita seharian. Itu karena saya merasa saya lebih bisa berharap untuk melewati proses yang indah dan berkesan. Bukan sesuatu yang indah, yang tiba-tiba saja hadir di depan mata. 

Logika itu barangkali bisa kita samakan dengan usaha kedekatan kita kepada Allah. Allah lebih meyukai usaha dan proses kita untuk menjadi yang terbaik bagi buah hati. Bisa jadi dalam perjalannya, kita akan menemukan onak dan duri. Namun jika kita meyakini akan pertemuan denganNya yang indah. Kita tidak akan pernah berhenti untuk terus mengupayakannya. 

Selamat berjuang.

Jadikan Ramadhan kali ini yang terbaik untuk kita dan keluarga di rumah.

Wallahu alam bi showab.

0 Response to "RAMADHAN : Merencanakan Syurga Bersama Buah Hati Kita"

Post a Comment