Saat Ia Ingin Didengarkan
Tidak mudah berkomunikasi dengan anak-anak yang mondok di
pesantren. Semuanya sudah diatur. Hanya bisa berkomunikasi dengan hape yang ada
di asrama. Itupun setelah mereka pulang sekolah dan setelah jam sholat. Belum
lagi 'hape berjamaah' yang dipakai juga sering terdengar nada sibuk saat
dihubungi.
Tapi begitulah. Di balik keterbatasan, tentu ada banyak hal
yang bisa dipetik. Kami tahu, kapan waktu agar bisa dengan leluasa menelpon mereka.
Kalaupun bisa, biasanya kami berupaya dengan komunikasi yang efektif. Siap untuk menyediakan
'kuping' dan 'hati', terutama untuk menguatkan mereka. Sesekali anak-anak mengirim sms dari nomor
hape yang kami tidak kenal. Biasanya nomor tersebut milik orang tua santri yang datang menjenguk. Seperti
kami juga, orang tua santri mempersilahkan hape miliknya di gunakan anak-anak
asrama, untuk sekadar mengirim kabar berita kepada anggota keluarganya. Anak-anak
juga suka mengirim pesan lewat facebook.
Biasanya saat mereka diijinkan oleh pembimbing asrama untuk berinternetan-ria.
Kondisi itu membuat kami mudah dilanda saling kangen. Sebulan sekali, waktu kunjungan ke ponpes menjadi waktu yang sangat spesial buat kami semua.
- - -
Minggu pagi, saya mendapat sms dari Afifah dari ponpes; Abi telp ke teteh asrama, nanti habis
ashar. Penting.
Tidak berjarak lama, ada notifikasi massage di facebook saya.
Kembali darinya; Abi telpon aku ke teteh asrama... Penting... bgt!
Dua pesan menggunakan kata 'penting', membuat saya tambah
bertanya. Ada apa dengannya? Sakit kah? Terus terang saya pernah punya
pengalaman, dikejutkan dengan telepon penipuan yang mengabarkan Afifah jatuh di
sekolah dan harus masuk ruang operasi di Rumah Sakit. Rasanya ngak banget! Sempat
panik luar biasa dan saat tersadar modus penipuan, hanya bisa mengutuki si sindikat
penipuan tersebut.
Akhirnya, setelah sholat ashar, saya segera bergegas menelepon. Nada suaranya tidak ceria seperti biasanya. Ia mengabarkan kondisinya sehat
dan dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Saat saya tanya, hal penting yang ia
maksud, Afifah malah terdiam sejenak. Saya pun menunggu untuk beberapa saat, agar
ia dapat menguasai perasaannya. Saat bicara kembali, suaranya terdengar
parau dan sesekali terdengar isakkannya.
"Apa yang buat kamu sedih?"
"Iya, aku tuh, butuh pendapat Abi. Habis dari kemarin, ngajak
bicara Kakak sama Teteh Asrama, semuanya sibuk. Jadi bingung mau curhat..." jelasnya, pelan.
Setelahnya, kami terlibat dalam percakapan. Intinya,
ia butuh penguatan. Afifah ingin didengar tentang keluh kesahnya, selama menjadi
Ka-bid OSJU (semacam OSIS) di ponpes. Beberapa hari ke depan, ia harus memberikan
laporan pertanggung jawaban, terutama tentang info kegiatan selama periode pengurusannya. Rupanya pengalaman pertama ini yang membuat ia gundah.
Saya coba memberi masukan agar Afifah lebih kuat dan lebih fokus pada kerja yang sudah
dilakukan. Perlahan nada suara Afifah sudah ceria kembali. Petuah Abi yang mujarab, judulnya! Diujung pembicaraan saya kembali
memotivasi. Saya katakan bahwa Afifah bisa melewati hari-harinya
dengan kegiatan pilihannya tersebut, dengan lebih semangat.
- - -
Alhamdulillah, Afifah sudah punya rasa tanggung jawab terhadap amanah yang
diberikan. Beban itu yang ingin ia bagi pada orang-orang didekatnya. Walau terbentang jarak, Afifah meyakini bahwa Abi dan
Ummi adalah penyemangat yang ampuh. Saya
rasa, nasehat yang saya berikan standar saja. Bahkan tidak jauh berbeda dari apa yang Afifah
dapat dari Kakak dan Teteh Asrama, selaku pembimbingnya. Namun
demikian, Afifah tetap memberi ruang bagi kami sebagai orang tuanya.
#Parenting #Daddiary
0 Response to "Saat Ia Ingin Didengarkan"
Post a Comment